Pendidikan untuk Kehidupan Saatnya Kembali ke Khittahnya
- Penulis: Inda Karsunawati
- May 1, 2016
- 3 min read

Pendidikan, secara umum adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran. Proses pembelajaran sendiri adalah sebuah proses perubahan di dalam kepribadian manusia yang ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, ketrampilan, daya pikir, dan kemampuan-kemampuan yang lain.
Seperti kita ketahui, bahwa tujuan dasar pendidikan adalah untuk membentuk manusia secara utuh, dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berkaitan dengan kegiatan otak yang tujuannya adalah adanya kemampuan berfikir, mulai dari kemampuan menghafal, memahami sampai evaluasi. Setelah kognitif, ranah selanjutnya adalah afektif yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Hasil belajar afektif akan tampak pada tingkah laku. Sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan yang dapat dilihat dari aktivitas fisik. Ketiga aspek ini berkesinambungan. Berawal dari pengetahuan dan kemampuan mengevaluasi (kognitif), seseorang bisa mengambil sikap (afektif), dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (psikomotorik).
Saya mulai melihat angin segar pada dunia pendidikan di Indonesia. Di mana mulai banyak pemerhati pendidikan yang menyadari problem-problem pendidikan yang kita hadapi, diantaranya masalah pemerataan pendidikan dan mutu pendidikan. Hal ini bisa kita lihat dari adanya gerakan peduli pendidikan seperti Indonesia Mengajar maupun Program Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T), serta diberlakukannya kurikulum 2013 yang kita harapkan konsisten dalam penerapannya sehingga didapatkan output yang signifikan.
Berbicara masalah mutu pendidikan, tidak terlepas dari kualitas sumber daya pengajar dan kurikulum. Saya mengapresiasi pemerintah yang meningkatkan kualifikasi pengajar, namun di sisi lain saya masih melihat suatu ironi di sana. Tidak jarang dunia pendidikan kita masih diwarnai kasus pelecehan siswa oleh guru, korupsi anggaran, hingga pungutan liar.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika pengajar menyadari perannya untuk membentuk manusia secara utuh dari tiga aspek (kognitif, afektif, dan psikomotorik). Ia akan menjaga fungsinya sebagai sosok yang digugu dan ditiru, dengan menyelaraskan perilakunya dengan apa yang diajarkannya. Terjadinya ketimpangan aspek-aspek pendidikan, salah satunya disebabkan inkonsistensi pengajar dalam memberikan pendidikan. Oknum pengajar yang tidak memberikan teladan, jelas menjadikan aspek-aspek tersebut semakin timpang. Timpangnya aspek kognitif, afektif dan psikomotorik membuat fungsi pendidikan di sekolah semakin minim.
Setelah pengajar, kurikulum sebagai perangkat program pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik, tentu memiliki peran yang sangat krusial. Kurikulum pendidikan yang hanya menuntut kemampuan akademik tanpa mengarahkan pada pembentukan karakter, semakin memperjelas ketimpangan aspek-aspek pendidikan. Oleh sebab itu, adanya kurikulum 2013 memberikan angin segar bagi rehabilitasi pendidikan di Indonesia, dimana aspek perilaku diberikan porsi penilaian tertinggi.
Paradigma masyarakat tentang pendidikan juga perlu diluruskan. Masih banyak masyarakat yang menganggap pendidikan sebatas pada pengajaran di sekolah. Padahal Ki Hajar Dewantoro yang dikenal sebagai bapak pendidikan, mengatakan bahwa pusat pendidikan itu keluarga, sekolah dan masyarakat, yang disebut Tri Pusat Pendidikan.
Dengan demikian, pendidikan harus berjalan di tiga pusat pendidikan tersebut. Sekolah saja tidak menjadikan kita manusia seutuhnya. Namun demikian, bukan berarti sekolah tidak penting. Sekolah menjadi lingkungan yang dikondisikan untuk pendidikan. Sekolah juga memfasilitasi pengembangan diri baik dari sisi akademik maupun non akadenik. Proses pembelajaran di sekolah juga menuntut siswa memecah nalarnya, mandiri sekaligus mampu bekerja dalam tim. Selain itu, hidupnya nilai-nilai di sekolah juga bisa menjadi kontrol perilaku yang akan memberikan pola yang berbeda antara antara mereka yang pernah sekolah dan tidak.
Di sisi lain, anggapan bahwa pendidikan semata-mata hanya untuk mencari pekerjaan juga mempersempit fungsi pendidikan. Pendidikan memang tidak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi melalui proses pendidikan, seseorang bisa mengambil sikap dengan mempertimbangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan yang akan diambil.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2016! Pendidikan harus ditempatkan kembali sesuai khittahnya, memanusiakan manusia. (yh)
Comments