top of page

Ikut Orangtua Studi di Taiwan, Anak-Anak Belajar Banyak Hal


Keluarga Adam Jerussalem ketika jalan-jalan di hari libur (Foto: dokumentasi pribadi)

Anak-anak identik dengan kegiatan bermain dan mengeksplor lingkungan sekitarnya. Bermain bersama teman-teman sebaya menjadi wadah sosialisasi bagi anak-anak. Lantas bagaimana kehidupan anak-anak yang diajak bermigrasi ke luar negeri? Apakah mereka bisa bersosialisasi dan bermain dengan enjoy bersama teman-temannya?


Mohammad Ulunnoeha Jerussalem (7) dan Rumaesha Zuhra Jerussalem (5), anak pasangan Mohammad Adam Jerussalem dan Ika Sunarti, mendapatkan pengalaman sosialisasi yang berbeda dibandingkan kebanyakan anak-anak seusia mereka. Pasalnya, sejak tahun 2014 lalu, mereka harus tinggal di tempat baru, dengan kebudayaan baru yang sama sekali belum mereka kenal sebelumnya.


“Awal-awal datang ke sini, mereka mengalami perubahan perilaku,” papar Adam.


Noeha yang awalnya sangat aktif dan pandai berbicara, menjadi pasif di kelas. Bagaimana tidak, ia harus masuk TK bersama teman-teman baru dengan bahasa yang tidak dia mengerti. Akhirnya, di rumah Noeha menjadi mudah marah, meluapkan emosi dan ekspresinya yang tidak bisa diungkapkan di sekolah.


“Noeha mulai berbicara dengan Bahasa Mandarin pada bulan ketiga atau keempat, menurut penuturan gurunya. Beberapa minggu lalu, Noeha bercerita kalau dulu ketika awal-awal masuk sekolah, dia sering berbicara dengan bahasa Indonesia pada gurunya,” ungkap Adam.


Memasuki tahun kedua, Noeha mulai lancar berkomunikasi dengan teman-temannya, kendati Adam dan Ika tidak mengajarkan anak-anak Bahasa Mandarin.


“Kami hanya mendorong mereka untuk belajar Mandarin. Kalau mengajarkan, hanya beberapa kosakata yang kami tahu. Sebab kami juga tidak bisa Mandarin,” celetuk Adam.


Saat ini, Noeha duduk di bangku SD. Ia sudah enjoy dengan sekolah dan lingkungan barunya. Bahkan, menurut Adam, kemampuan bahasa Mandarin Noeha sudah jauh di atasnya.


Sementara itu, adiknya, Shasha, belum mengalami hal seperti yang dialami Noeha, karena Shasha belum sekolah. Ika mengaku khawatir Shasha mengalami kesulitan beradaptasi dengan teman-temannya, sebab ia lebih pendiam dibanding kakaknya. Akan tetapi, Shasha memiliki keinginan dan semangat untuk sekolah yang tinggi. Bagi Adam, itu hal yang positif.


Selain masalah bahasa, makanan adalah hal kedua yang paling membutuhkan penyesuaian diri yang berat. Bukan sekedar karena rasa, tetapi karena mereka Muslim maka tidak semua makanan boleh dimakan. Adam dan Ika membiasakan anak-anak membawa bekal. Mereka juga berpesan ketika teman-temannya memberi makanan, agar selalu dibawa pulang.


“Awalnya mereka selalu bertanya kenapa teman-teman makan itu dan saya tidak boleh? Namun, lama-lama mereka paham,” ungkap Adam.


Menyadari bahwa gegar budaya yang harus dialami anaknya cukup berat, Adam tidak menuntut anaknya berprestasi di sekolah. Bisa bergaul dan berkomunikasi saja sudah lebih dari cukup. Namun diluar dugaan, pada pertemuan wali murid kelas 1 sebulan yang lalu, guru Noeha menyatakan secara terbuka bahwa Noeha adalah siswa yang paling cepat bisa mencari kosa kata Mandarin di dalam kamus Mandarin. Mendahului teman-teman sekelasnya yang notabene orang Taiwan. Mendengar hal itu, Adam sangat terharu dan bangga, sekaligus bersyukur karena Noeha mampu mengikuti pelajaran di kelasnya.


Seperti halnya anak-anak yang lain, hari libur adalah hari yang paling ditunggu oleh anak-anak Adam, terutama Noeha. Untuk mengurai kejenuhan anak-anak, setiap Minggu Adam mengajak mereka jalan-jalan. Diawali dari mengaji di masjid besar Taipei, kemudian dilanjutkan bermain di tempat umum, seperti taman, museum, dan lainnya.


“Tapi kadang agenda ini tidak jalan kalau saya ada kegiatan lain. Tetapi jika saya bisa bawa anak-anak dalam kegiatan tersebut, saya bawa. Saya tidak ingin mereka bermain gadget karena tahu hari libur. Sebab kalau hari aktif mereka dilarang main gadget,” papar mahasiswa PhD Industrial Management, National Taiwan University of Science and Technology ini.


Menurut Adam, membawa anak-anak dalam studi di luar negeri, memberikan beberapa dampak positif bagi anak. Mereka beruntung bisa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan lintas budaya sejak dini. Selain itu, mencicipi pendidikan di Taiwan tentu menjadi nilai tambah tersendiri bagi anak.


Motivasi utama Adam membawa anak-anak ke Taiwan adalah, agar waktu bersama mereka tidak terganggu. Bagi Adam, kebersamaan keluarga adalah sebuah keharusan. Apalagi menemani anak-anak dalam masa perkembangannya.


“Waktu bersama anak-anak kan tidak lama. Besar sedikit saja, misal SMP, mungkin mereka sudah tidak mau diajak pergi bersama karena punya dunia sendiri. Ini fenomena yang banyak terjadi sekarang,” tutur ayah 38 tahun ini.(yh)


Kategori
Tautan
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page