top of page

MENGENALI YANG BUKAN WARGA NEGARA: DEMO PEKERJA ASING DI TAIWAN 2018

Pada tanggal 7 Januari 2018, Jaringan Pemberdayaan Migran di Taiwan (Migrant Empowerment Networt in Taiwan, MENT) menginisiasi sebuah demostrasi untuk menyuarakan protes terhadap revisi Undang-undang tenaga kerja asing di Taiwan dengan tema “Mengenali yang bukan warga” (Recognising Non-Citizen).


Ditengah hujan yang mengguyur kota Taipei, massa yang berjumlah lebih dari 1.000 orang dan berasal dari berbagai latar belakang menyuarakan tuntutannya. Demonstrasi dimulai dari jam 12.00 di kantor Kementerian Ketenagakerjaan dan berakhir jam 16.30 di Istana Presiden di Taipei.


Protes ini dipicu oleh rencana sepihak pemerintah Taiwan untuk merevisi beberapa peraturan sebelumnya. Poin yang paling mendapat perhatian adalah tentang batasan jam Lembur dari 3 ke 5 jam yang dianggap sebagai bentuk eksploitasi. Peserta demonstrasi meneriakkan slogan “Kita hidup bersama, Kita putuskan bersama” yang merupakan ajakan untuk pemerintah Taiwan, khususnya Legislatif Yuan (Parlemen Taiwan) untuk melibatkan pekerja asing dalam perumusan revisi undang-undang perburuhan di Taiwan.


Pada kesempatan ini, pekerja migran juga menyuarakan beberapa tuntutan yang dianggap sangat urgent untuk ditindaklanjuti, seperti Menghapuskan sistem agensi swasta di Taiwan, memasukkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam UU perlindungan perburuhan, bebas pindah majikan, dan membatalkan rencana revisi UU yang sedang berlangsung di Legislative Yuan dan mendiskusikan ulang dengan melibatkan objek dari undang undang tersebut, yaitu pekerja asing.


Melampaui Kewarganegaraan (Beyond Citizenship)

Sejak 20 tahun terakhir, migrasi Internasional telah menjadi fenomena umum dimana-mana, orang-orang melewati batas negara untuk mencari asylum(suaka/perlindungan), menghindari perang, bekerja, dan liburan. Tetapi yang paling menjadi pusat perhatian adalah pekerja migran dari negara-negara dengan tingkat ekonomi berkembang ke negara-negara maju, karena mereka sering menjadi korban perbudakan dalam sistem perburuhan negara yang bersangkutan.


Begitu juga Taiwan, ada banyak Undang-undang di Taiwan yang dianggap merugikan pekerja asing (TKA) karena hak-haknya tidak dipenuhi dan cenderung mengeksploitasi dibandingkan dengan pekerja asing profesional dan pekerja lokal. Oleh karena itu, berbagai grup/organisasi Pekerja Asing, Organisasi buruh, dan pihak-pihak yang menaruh perhatian dengan isu ini menyerukan slogan “melampaui kewarganegaraan” dan “Kita hidup bersama, Kita putuskan bersama”. Sehingga, perumusan undang undang perburuhan tidak hanya mengakomodasi kepentingan para pemodal (Capitalists) dan Negara, tetapi juga memperhatikan kesulitan sehari-hari yang dihadapi oleh pekerja asing di tempat kerja mereka.

Revisi Jam Lembur

Pemerintah Taiwan menambah batas jam lembur dari 3 menjadi 5 jam. Hal ini jelas mengundang perdebatan karena menyebabkan waktu istirahat TKA berkurang. Jika seorang TKA memiliki batas jam kerja 8 jam per hari, ditambah 5 jam lembur dan 2 jam istirahat dan makan selama jam kerja, maka dia hanya memiliki waktu istirahat/tidur sekitar 8-9 jam hingga bekerja di hari berikutnya. Kebijakan ini dianggap menghilangkan hak-hak mendasar tenaga kerja.


Taiwan memang kekurangan tenaga kerja selama 30 tahun terakhir seiring dengan industrialisasi besar-besaran yang digalakkan pemerintah Taiwan. Hingga di tahun 1992, pemerintah Taiwan secara resmi memberikan izin merekrut tenaga kerja asing dari Asia Tenggara untuk mengisi kekosongan tenaga kerja di sector industri manufaktur, PRT, dan nelayan. Hingga November 2017 tercatat 674.651 tenaga kerja asing yang berasal dari Asia Tenggara, sebanyak 258.242 dari mereka berasal dari Indonesia, 148.691 dari Filippina, 61.533 dari Thailand, dan 206.184 dari Vietnam.


Jumlah immigran ini sering dianggap menjadi salah satu sumber masalah terhadap ketertiban umum di taiwan, salah satu diantaranya adalah mereka menduduki stasiun-stasiun dan taman kota di akhir minggu yang mengakibatkan kesan kumuh dan kotor. Hal ini dikarenakan stasiun dan taman kota adalah tempat umum yang paling mudah dijangkau untuk melepas rindu bersama teman-teman dari negara masing-masing.



Satu hal yang menjadi sorotan penting adalah alasan penambahan jam lembur dengan jumlah pekerja di Taiwan. Asumsinya adalah Taiwan masih kekurangan tenaga kerja yang cukup parah, tetapi juga tidak mau mengambil resiko menambah jumlah perekrutan TKA negara asing, karena ditakutkan akan menambah masalah di Taiwan. Menambah immigran artinya menambah beban orang yang harus dimasukkan dalam anggaran kesehatan dan jaminan sosial lainnya. Dengan kalkulasi demikian, kebijakan tersebut akan menghemat banyak anggaran dan mengurangi resiko yang mengganggu ketertiban sosial lainnya.


UU yang Diskriminatif di Taiwan

Kebijakan ini tidak berlaku untuk pekerja asing profesional, seperti guru, teknisi, dan pencari kerja asing dengan keahlian khusus. Bahkan pemerintah Taiwan melalui Agensi Immgirasi nasional mempermudah pekerja asing profesional yang mau datang untuk bekerja di Taiwan dengan menawarkan Visa Pencari Kerja (Job-Seeking Visa) dan berbagai jaminan sosial lainnya. Kebijakan ini jelas-jelas sangat diskriminatif, TKA yang datang ke Taiwan dengan kategori pekerja kerah biru menjadi orang-orang yang duduk dalam lapisan terbawah dalam struktur tenaga kerja asing di Taiwan.


Mereka juga tidak diberikan kebebasan untuk pindah majikan. Seorang TKA hanya bisa pindah majikan jika bisnis majikannya bangkrut, atau pasiennya meninggal untuk PRT, atau ada kesalahan majikan yang bisa dibuktikan orang korban. Selain dari kasus di atas, seorang TKA akan sulit ganti majikan dan harus melalui persidangan/pengadilan untuk memutuskan apakah dia boleh pindah atau tidak. Dan PRT menjadi yang paling menderita dalam sistem perburuhan di Taiwan, dimana mereka tidak dimasukkan dalam UU Buruh, sehingga gaji yang mereka terima dibawah standar untuk TKA, yaitu 17.000 NTD, sedangkan standar gaji buruh adalah 22.000 NTD.


Sumber Gambar : Jonathan Parhusip

Kategori
Tautan
Search By Tags
No tags yet.
bottom of page