Kopi dan Mie Instan, Teman Sejati
- Penulis: Etty Diallova Editor: Aulia Fajrin
- Jun 24, 2016
- 2 min read
Ramadhan, bulan impian bagi seluruh umat Islam di dunia. Akan tetapi, menjalani Ramadhan di perantauan sungguh sesuatu yang tak diimpikan. Tahun ini adalah kali kelima, aku berjumpa Ramadhan di bumi Formosa.
Sahur bersama dengan keluarga, menghirup aroma menggoda masakan ibu di sore hari saat menanti buka puasa, ketukan pintu dari ibu untuk membangunkanku ketika sahur. Ah ... semua bagaikan cerita dongeng yang ingin sekali kurasakan. Rindu suasana itu.
Sudah lima Ramadhan kulalui sendiri di sini. Hanya ditemani dengan mie instant dan secangkir kopi. Eh, jangan tanya ya, mengapa harus dengan secangkir kopi? Kegemaran menulis yang kumiliki, membuat kopi adalah teman setia dalam hidupku. Jika tanpanya, esok hari aku akan terkantuk-kantuk saat memijit pasien dan aku harus bangun pagi, sedangkan waktu tidurku sangatlah kurang.
***
Jauh-jauh hari sebelum puasa, aku telah membeli dal mie instant beraneka rasa am jumlah banyak. Jadi ketika alarm ponsel langka yang kubawa dari Indonesia (tipe 1213) membangunkanku, yang kutuju adalah kompor dengan kuali kecil yang sebelum tidur telah kuisi air agar memasaknya lebih cepat.
Berbekal penerangan dari USB light yang dihubungkan dengan power bank, kupersiapkan menu sahur setiap hari. Aku tidak berani menyalakan lampu karena takut ketahuan nenek atau bos. Meski telah 5 tahun aku bekerja di rumah ini, mereka tetap belum memahami tentang ibadah puasa yang harus kulakukan. Jadi, daripada harus berdebat tanpa kejelasan, lebih baik aku melakukannya secara diam-diam. Dan ini telah berlangsung lima tahun. Pernah suatu ketika, saat aku sedang menyantap hidangan sahur, nenek terbangun dan pergi ke kamar kecil. Karena takut ketahuan, lampu USB kumatikan. Alhasil, aku harus makan dalam gelap. Pastinya gak kebanyang kan, jika sendok yang berisi mie itu, salah masuk ke hidung bukan ke mulut.
***
“Etty, makan siang!” perintah nenek setiap mereka selesai makan siang.
“Iya, Nek. Tunggu sebentar, saya sedang membereskan ini,” kilahku mencari-cari alasan.
Berbekal mangkuk kosong dan sumpit, aku duduk di ruangan makan beberapa menit. Setelah itu, kubereskan semuanya ke belakang untuk dicuci. Setelah semuanya selesai, rasa lega menyelimuti hati.
“Alhamdulilah, satu ujian telah selesai,” gumamku lirih.
***
Aktivitasku yang merawat nenek yang telah lanjut usia, sungguh menguras kesabaran. Tak hanya itu, setiap hariny aku harus menyediakan 2 jam waktu untuk memijit. Jangan ditanya bagaimana lemasnya aku saat harus memijit badannya yang berukuran dua kali lipat dari tugu Monas. Sabar lagi dan lagi, kutanamkan kalimat itu di dalam hati. Ini semua adalah konsekuensi dari sebuah pekerjaan dan ketaatan kita kepada Penguasa Kehidupan.
Tak ada suara beduk terdengar atau senandung adzan yang berkumandang. Waktu berbuka puasa hanya berpatokan pada schedue yang dibagikan Masjid besar Taipei. Berbekal menu seadanya, sirup Marjan yang kubeli dari Toko Indo, dan doa buka puasa pun kulafalkan. Rasanya, bagaikan oase di padang pasir. Tegukan sirup Marjanlah yang seolah membawaku terbang ke tengah-tengah keluarga. Berbuka puasa bersama dengan mereka.
Banyak hal yang berkesan saat melalui Ramadhan, saat aku bersama mereka,keluarga majikan yang berbeda agama. Setiap detik adalah perjuangan yang harus dilalui. Agar dapat mempertahankan ibadahku kepada Allah SWT. Rasa haru dan bahagia akan datang, saat kemenangan di 1 Syawal tiba.
Nah, ini cerita Ramadhanku sobat, mana cerita Ramadhanmu?
New Taipei City, 11 Juni 2016
Comments